Senin, 20 April 2020

Tantangan Pada Awal Kemerdekaan Indonesia

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan titik akhir perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Belanda yang telah ratusan tahun merasakan kekayaan Indonesia enggan mengakui kemerdekaan Indonesia. Sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II merasa memiliki hak atas nasib bangsa Indonesia. Belanda mencoba masuk kembali ke Indonesia dan menancapkan kolonialisme dan imperialismenya. Sementara kondisi sosial ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan, perangkat-perangkat kenegaraan juga baru dibentuk, Indonesia ibarat bayi baru lahir masih lemah, tetapi merdeka adalah harga mati. Berbagai upaya bangsa asing untuk menguasai kembali bangsa Indonesia ditentang dengan berbagai cara. Pertempuran heroik dengan korban ribuan jiwa terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tidak terhitung dengan jelas berapa jumlah korban jiwa dari pertempuran mempertahankan bangsa Indonesia tersebut, bahkan banyak pahlawan tidak dikenal yang berguguran. Nah, bagaimana kondisi awal Indonesia merdeka dan bagaimana proses perjuangan bangsa Indonesia berikutnya?

Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden masih terus terjadi. Hal ini tidak lain karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau Indonesia merdeka. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisa-sisa kekuatan Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo. Di samping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga Belanda atau NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi karena baru awal kemerdekaan tentu masih banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden. Bahkan, untuk menjaga keamanan negara juga telah dibentuk TNI.

Kondisi perekonomian negara masih sangat memprihatinkan sehingga terjadi inflasi yang cukup berat. Hal ini dipicu karena peredaran mata uang rupiah Jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat rendah. Permerintah RI sendiri tidak bisa melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri. Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang, yaitu De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah Jepang. Bahkan, setelah NICA datang ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA. Kondisi perekonomian ini semakin parah karena adanya blokade yang dilakukan NICA. Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap pemerintah Indonesia. Inilah yang menyebabkan Jakarta semakin kacau sehingga pada tanggal 4 Januari 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Kemudian untuk mengatasi keadaan keuangan, pada 1 Oktober 1946 Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI (Oeang Republik Indonesia). Sementara itu uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah.
Struktur kehidupan masyarakat mulai mengalami perubahan, tidak ada lagi diskriminasi. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sementara dalam hal pendidikan, pemerintah mulai menyelenggarakan pendidikan yang diselaraskan dengan alam kemerdekaan. Menteri Pendidikan dan Pengajaran juga sudah diangkat.

Kedatangan Sekutu dan Belanda
Penyerahan Jepang kepada Sekutu tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945 membuat analogi bahwa Sekutu memiliki hak atas kekuasaan Jepang di berbagai wilayah, terutama wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara yang masuk dalam Sekutu. Belanda adalah salah satu negara yang berada di kelompok Sekutu.

Bagi Sekutu dan Belanda, Indonesia dalam masa vacum of power atau kekosongan pemerintahan. Karena itu, logika Belanda adalah kembali berkuasa atas Indonesia seperti sebelum Indonesia direbut Jepang. Dengan kata lain, Belanda ingin menjajah kembali Indonesia. Bagi Sekutu, setelah selesai PD II, maka negara-negara bekas jajahan Jepang merupakan tanggung jawab Sekutu. Sekutu memiliki tanggung jawab perlucutan senjata tentara Jepang, memulangkan tentara Jepang, dan melakukan normalisasi kondisi bekas jajahan Jepang? Bayangan Belanda tentang Indonesia jauh dari kenyataan. Faktanya, rakyat Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan bayangan Belanda dan Sekutu. Karena itu, dapat diprediksi kejadian berikutnya, yakni akan terjadi pertentangan atau konflik antara Indonesia dengan Sekutu ataupun Belanda.

Bagaimana dampak kedatangan Sekutu ke Indonesia? Sekutu masuk ke Indonesia diboncengi NICA. Mereka masuk melalui beberapa pintu wilayah Indonesia terutama daerah yang merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Setelah PD II, terjadi perundingan Belanda dengan Inggris di London yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isinya tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda, khusus yang menyangkut daerah Sumatra sebagai daerah yang berada di bawah pengawasan SEAC (South East Asia Command). Di dalam perundingan itu dijelaskan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.
  1. Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
  2. Fase kedua, setelah keadaan normal pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu.
Setelah diketahui Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, maka Belanda mendesak Inggris agar segera mensahkan hasil perundingan tersebut. Pada tanggal 24 Agustus 1945 hasil perundingan tersebut disahkan. Berdasarkan Persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas. Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk daerah yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command).

Untuk melaksanakan isi Perjanjian Potsdam, maka pihak SWPAC di bawah Lord Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan tentara Sekutu di Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 September 1945, wakil Mountbatten, yakni Laksamana Muda WR Patterson dengan menumpang Kapal Cumberland, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dalam rombongan Patterson ikut serta Van Der Plass seorang Belanda yang mewakili H.J. Van Mook (Pemimpin NICA).

Setelah informasi dan persiapan dipandang cukup, maka Louis Mountbatten membentuk pasukan komando khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Mereka tergabung di dalam pasukan tentara Inggris yang berkebangsaan India, yang sering disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara AFNEI sebagai berikut.
  1. menerima penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat.
  2. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu;
  3. melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya;
  4. dmenegakkan dan mempertahankan keadaan damai, menciptakan ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil; dan
  5. mengumpulkan keterangan tentang penjahat perang untuk kemudian diadili sesuai hukum yang berlaku.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945. Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tiga divisi, yaitu sebagai berikut.
  1. Divisi India 23 di bawah pimpinan Jenderal D.C Hawthorn. Daerah tugasnya di Jawa bagian barat dan berpusat di Jakarta.
  2. Divisi India 5 di bawah komando Jenderal E.C Mansergh bertugas di Jawa bagian timur dan berpusat di Surabaya.
  3. Divisi India 26 di bawah komando Jenderal H.M Chambers, bertugas di Sumatra, pusatnya ada di Medan.
Kedatangan tentara Sekutu diboncengi NICA yang akan menegakkan kembali kekuatannya di Indonesia. Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap Sekutu dan bersikap anti Belanda.

Sementara Christison sebagai pemimpin AFNEI menyadari bahwa untuk menjalankan tugasnya tidak mungkin tanpa bantuan pemerintah RI. Oleh karena itu, Christison bersedia berunding dengan pemerintah RI. Selanjutnya, Christison pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan pengakuan secara de facto tentang negara Indonesia. Namun, dalam kenyataannya pernyataan tersebut banyak dilanggarnya. Sebagai bukti akan kita lihat dalam kajian di berikut ini.
Kedatangan Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia. Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Hal ini mengakibatkan berbagai upaya penentangan dan perlawanan dari masyarakat.

a. Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang
Berita proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan kekuasaan dari pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan. Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang lewat radio tentang sebuah pernyataan dan perintah agar pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal ini semakin membakar semangat para pemuda Semarang dan sekitarnya untuk melakukan perebutan kekuasaan.

Bahkan Wongsonegoro selaku pimpinan pemerintahan di Semarang mengeluarkan pernyataan atau perintah sebagai berikut.
Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional di Jakarta, maka dengan ini kami atas nama rakyat Indonesia mengumumkan sementara aturan-aturan pernerintahan untuk menjaga keamanan umum di daerah Semarang.
  1. Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945 jam 13.00 Permerintah RI untuk daerah Semarang mulai berlaku.
  2. Terhadap segala perbuatan yang menentang pemerintah RI akan diambil tindakan yang keras.
  3. Senjata api, kecuali yang di tangan mereka yang berhak memakainya harus diserahkan kepada polisi.
  4. Hanya bendera Indonesia Merah Putih boleh berkibar.
  5. Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil tindakan keras.
  6. Selanjutnya semua penduduk hendaknya melakukan pekerjaannya sehari-hari sebagaimana biasa.
Semarang, 19 Agustus 1945
Kepala Pemerintahan RI Daerah Semarang
Wongsonegoro
Suasana di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan seruan pemerintahan di Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan pemuda Semarang mengerumuni tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh. Sementara pimpinan mereka sedang berunding di dalam tangsi untuk membahas mengenai penyerahan senjata. Perundingan itu berjalan tersendat-sendat, tetapi akhirnya disepakati penyerahan senjata secara bertahap.

Ketegangan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh para pemuda ke penjara Bulu, Semarang. Dalam perjalanan, sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri dan minta perlindungan kepada batalion Kedobutai. Oleh karena itu, tanpa menunggu perintah, para pemuda segera menyerang dan melakukan perebutan senjata terhadap Jepang. Terjadilah pertempuran sengit antara rakyat Indonesia melawan pasukan Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Pada tanggal 14 Oktober 1945, pada petang harinya, petugas kepolisian Indonesia yang menjaga persediaan air minum di Wungkal diserang oleh pasukan Jepang. Mereka dilucuti dan disiksa di tangsi Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar bahwa air ledeng di Candi telah diracuni oleh Jepang. Oleh karena rakyat menjadi gelisah, dr. Kariadi, kepala laboratorium dinas Purusara Semarang ingin mengecek persediaan air tersebut namun ia dibunuh oleh tentara Jepang. Hal ini telah menambah sengitnya pertempuran antara para pemuda melawan tentara Jepang.

Para pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, di Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin meningkatkan kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang berusaha dapat menguasai daerah Semarang kembali.

Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan sebagai berikut.
  1. Poros Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat gerakan bantuan pasukan dari Pekalongan dan Kendal.
  2. Poros Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel Du Pavillon.
  3. Poros Timur, dengan sasaran menduduki Sekolah Teknik dan mencegah datangnya bantuan BKR dari Demak, Pati, dan Rembang. Sementara itu, dari pihak Indonesia telah datang bantuan dari berbagai penjuru, baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, seperti dari Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan seperti dari Solo, Magelang, dan Yogyakarta.
Tanggal 17 Oktober 1945, tercapai suatu perundingan mengenai gencatan senjata yang diadakan di Candi Baru. Pihak Indonesia juga menyetujui perundingan tersebut. Sekalipun telah disepakati adanya gencatan senjata, ternyata Jepang masih melanjutkan pertempuran. Pada tanggal 18 Oktober 1945 (hari kelima), Jepang berhasil mematahkan berbagai serangan para pemuda. Pada hari itu, telah datang beberapa utusan pemerintah pusat dari Jakarta untuk merundingkan soal keamanan dan perdamaian di Semarang. Beberapa tokoh yang hadir dari Jakarta waktu itu, antara lain Kasman Singodimejo dan Sartono. Pihak Jepang yang hadir, antara lain Jenderal Nakamura. Kemudian, dilanjutkan perundingan untuk mengatur gencatan senjata. Nakamura mengancam akan mengebom kota Semarang, apabila para pemuda tidak mau menyerahkan senjata paling lambat tanggal 19 Oktober 1945 pukul 10.00. Wongsonegoro terpaksa menyetujui dengan membubuhkan tanda tangan pada perjanjian itu.

Pada tanggal 19 Oktober 1945 pagi hari, belum ada tanda-tanda semua senjata akan diserahkan kembali kepada Jepang. Sementara Jepang telah bersiap-siap untuk membumihanguskan kota Semarang. Tiba-tiba pukul 07.45 terpetik berita bahwa tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Semarang dengan menumpang kapal HMS Glenry. Mereka terdiri atas pasukan Inggris, termasuk tentara Gurkha. Mereka bertugas untuk melucuti tentara Jepang.

Dengan kedatangan tentara Sekutu, berarti telah mempercepat berakhirnya pertempuran antara pejuang Semarang dengan tentara Jepang. Untuk mengenang pertempuran Lima Hari di Semarang ini, maka dibangun sebuah monumen yang terkenal dengan sebutan Tugu Muda.

b. Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia. Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah itu telah berada di tangan Pemerintahan RI.

Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus meninggalkan kantornya di jalan Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.

Satu hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.

Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda, dan kesatuan dengan tentara Jepang di Yogyakarta. Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, dengan jaminan anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian, TKR meminta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru untuk menyerah. Ternyata Butaico menolak untuk menyerah. Akibatnya serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan.

Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang di Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan Yogyakarta. Dalam pertempuran itu, pihak Indonesia yang gugur 21 orang dan 32 orang luka-luka. Sedangkan dari pihak Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka. Setelah markas Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P. Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta berada di bawah kekuasaan RI.

c. Arek-arek Surabaya untuk Indonesia
Tokoh pada gambar diatas adalah Bung Tomo. Beliau terkenal karena perjuangannya dalam pertempuran Surabaya pada tahun 1945. Pertempuran rakyat Surabaya dengan Sekutu terjadi pada tahun 1945 tersebut, menyebabkan ribuan rakyat yang gugur. Karena itulah bangsa Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Semangat tempur arek-arek Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu, tidak dapat dilepaskan dari kemenangannya melawan kekuatan Jepang di Surabaya dan sekitarnya. Arek-arek Surabaya berhasil menyerbu dan menguasai markas Kempetai yang terletak di depan Kantor Gubernur Surabaya. Semua senjata Kempetai Jepang dilucuti. Pertempuran meluas ke Markas Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu. Markas Jepang ini juga berhasil dikuasai para pejuang. Gudang peluru di Kedung Cowek juga berhasil direbut oleh arek-arek Surabaya. Pertempuran perebutan kekuasaan terhadap Jepang ini berakhir setelah komandan Angkatan Darat Jepang Jenderal Iwabe menyerah dan menyusul komandan Angkatan Laut Laksamana Shibata. Semua kapal perang dan senjata serta pangkalannya diserahkan kepada pejuang Indonesia.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade ini adalah bagian dari Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari panglima Allied forces for Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu. Kedatangan mereka diterima oleh pemimpin pemerintah Jawa Timur, Gubernur Suryo. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan sebagai berikut.
  1. Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda.
  2. Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
  3. Akan segera dibentuk “Kontak Biro” agar kerja sama dapat terlaksana sebaik-baiknya.
  4. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan Kolonel Huiyer—seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta kawan-kawannya. Tindakan Inggris dilanjutkan pada keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital lainnya.

Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur, bahkan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Beberapa objek vital yang telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.

Melihat kenyataan seperti itu, komandan pasukan Sekutu menghubungi Presiden Sukarno untuk mendamaikan perselisihan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu (Inggris) di Surabaya. Pada tanggal 30 Oktober 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdamaian berhasil dicapai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Salah satu kesepakatannya adalah untuk menjaga keamanan di Surabaya dan sekitarnya. Karena dirasa perlu terus dilakukan komunikasi antara kedua pihak, maka dibentuklah Kontak Biro yang anggotanya tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Residen Sudirman, Dul Arnawa dan Sungkana, sedangkan dari pihak Inggris antara lain Mallaby dan Shaw. Namun, setelah Sukarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin beserta Hawthorn kembali ke Jakarta, ternyata masih terjadi pertempuran di beberapa tempat.

Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil, para anggota Kontak Biro berusaha menuju gedung Internatio yang masih terjadi kontak senjata. Pada saat itu, gedung ini diduduki oleh tentara Inggris. Arek-arek Surabaya mengepung gedung itu dan menuntut agar gedung itu dikosongkan. Kedatangan Kontak Biro yang di dalamnya ada Mallaby itu, membuat arek-arek Surabaya menuntut agar Mallaby dan tentara Inggris menyerah. Kebetulan hari itu sudah mulai gelap. Ketika itu rombongan Mallaby sedang berada di tempat perhentian trem listrik yang terletak beberapa belas meter sebelah utara Jembatan meledak, waktu itu kira-kira pukul 20.30. Ternyata mobil yang ditumpangi Mallaby meledak dan ditemukan Mallaby tewas. Tewasnya Brigjen Mallaby ini memancing kemarahan pasukan Inggris. Pada tanggal 9 November 1945, Mayjen E.C. Mansergh, sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum agar pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945. Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari Darat, Laut, dan Udara, apabila orang-orang Indonesia tidak mau menaati ultimatum itu. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “………semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pada tempat yang telah ditentukan dan membawa bendera merah putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak 100 m dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda menyerah.”

Akhirnya pertempuran berkobar di Surabaya. Inggris mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya. Pada tanggal 10 November 1945, terjadi pertempuran sengit di Surabaya. Salah satu tokoh pemuda, yaitu Sutomo (Bung Tomo) telah mendirikan Radio Pemberontakan untuk mengobarkan semangat juang arek-arek Surabaya. Pada saat terjadi pertempuran di Surabaya, Bung Tomo berhasil memimpin dan mengendalikan kekuatan rakyat melalui pidato-pidatonya. Di dalam pidatonya melalui radio yang begitu berapi-api dan selalu dimulai dan diakhiri dengan teriakan takbir, “Allahu Akbar”. Tokoh lain, misalnya Ktut Tantri, yakni wanita Amerika yang juga aktif dalam mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan Bung Tomo.

Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota, pada tanggal 9 November 1945 pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri dari Komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, dan TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4.

Kota Surabaya dibagi dalam 3 sektor pertahanan, yaitu Sektor Barat, Tengah dan Timur. Sektor Barat dipimpin oleh Kunkiyat, Sektor Tengah antara lain dipimpin oleh Marhadi, sedangkan Sektor Timur dipimpin oleh Kadim Prawirodiarjo. Sementara itu Sukarno membakar semangat juang rakyat lewat radio. Sesudah batas waktu ultimatum habis, keadaan semakin ekplosif. Kontak senjata pertama terjadi di Perak, yang berlangsung sampai jam 18.00. Inggris berhasil menguasai garis pertahanan pertama. Gerakan pasukan Inggris disertai dengan pengeboman yang ditujukan pada sasaran yang diperkirakan menjadi tempat pemusatan pemuda. Surabaya yang telah digempur oleh Inggris berhasil dipertahankan oleh para pemuda hampir 3 minggu lamanya. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih, walaupun pihak Inggris menggunakan senjata-senjata modern dan berat. Pertempuran yang terakhir terjadi di Gunungsari pada 28 November 1945, namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan. Markas pertahanan Surabaya dipindahkan ke desa yang terkenal dengan sebutan Markas Kali. Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air Indonesia dari segala bentuk penjajahan.

Pertempuran di Surabaya telah menunjukkan begitu heroiknya para pejuang kita untuk melawan kekuatan asing. Untuk mengenang, peristiwa itu, maka tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.

d. Pertempuran Palagan Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir pada 15 Desember 1945 antara pasukan TKR dan pemuda Indonesia melawan pasukan Inggris. Latar belakang dari peristiwa ini dimulai dengan insiden yang terjadi di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Oleh pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi oleh tentara Nederland Indische Civil Administration (NICA) yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah insiden Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan tercapai kata sepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal, diantaranya sebagai berikut.
  1. Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi Allied Prisoners War and Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu);
  2. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia- Sekutu; dan
  3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur. Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul mundur pasukan Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.

Sementara itu, Batalion Imam Adrongi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian disusul 3 batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalion 10 Divisi III dibawah pimpinan Mayor Suharto, batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalion Sugeng. Musuh akhirnya terkepung. Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan dengan mengadakan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan Indonesia dari belakang dengan tanktanknya. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono. Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin M. Sarbini, batalion Polisi Istimewa yang dipimpin Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di Desa Jambu.

Di Desa Jambu para komandan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghadirkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di Magelang. Sejak saat Ambarawa dibagi atas 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor Selatan, sektor Barat dan sektor Timur. Kekuatan pasukan bertempur secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945 pimpinan pasukan TKR dari Purwokerto yaitu Letkol Isdiman gugur. Setelah mengetahui Isdiman gugur maka pimpinan pasukan TKR Purwokerto Kolonel Sudirman turun langsung memimpin pasukan. Kehadiran Sudirman ini semakin menambah semangat tempur TKR dan para pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa.

Kolonel Sudirman menyodorkan taktik perang Supit Urang. Taktik ini segera diterapkan. Musuh mulai terjepit dan situasi pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR. Sejak saat itu, pimpinan pasukan TKR Purwokerto dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR. Pada tanggal 5 Desember 1945, musuh terusir dari Desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan yang terdepan.

Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-masing. Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan pertempuran. Pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting karena letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka dapat mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta, Magelang dan Yogyakarta.

Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami kemenangan yang gemilang. Menyambut kemenangan itu Sudirman yang masih berpakaian perang langsung mengambil air wudu dan segera melakukan sujud syukur seraya berdoa:
Ya Allah ya Tuhan, Maha Besar dan Maha Kuasa Engkau. Engkaulah sumber kekuatan dan kemenangan. Ampunilah hamba-Mu yang lemah dan dhaif ini dan berikan kami kekuatan”.
Kemenangan pertempuran Ambarawa ini cepat menyebar ke pos-pos
pertahanan TKR, bahkan sampai ke dapur-dapur umum. Hal ini semakin
menambah semangat juang pada pejuang di medan tempur.

Dengan kemenangan ini nama Sudirman semakin populer sebagai komandan dan pimpinan TKR. Kemenangan ini juga menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih memiliki pasukan yang kuat yaitu pasukan TKR dan rakyat yang menolak kembalinya penjajah di bumi pertiwi Indonesia. Untuk mengenang pertempuran Ambarawa, tanggal 15 Desember dijadikan Hari Infanteri. Di Ambarawa juga dibangun Monumen Palagan, Ambarawa.

e. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu itu diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Pemerintahan RI Sumatra Utara memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dan lainnya, karena menghormati tugas mereka. Sebagian dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda-tenda lapangan.

Sehari setelah mendarat, tim dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hasan. Ternyata kelompok itu langsung dibentuk menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan itu, maka tampaklah perubahan sikap dari bekas tawanan tersebut. Mereka bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara spontan oleh para pemuda. Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah seorang yang ditemuinya. Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh para pemuda.

Insiden ini menjalar ke berbagai kota seperti Pematang Siantar dan Brastagi. Sementara itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk TKR Sumatra Timur dengan pimpinannya Ahmad Tahir. Selanjutnya diadakan pemanggilan terhadap bekas Giyugun dan Heiho ke Sumatra Timur. Panggilan ini mendapat sambutan luar biasa dari mereka. Di samping TKR, di Sumatra Timur terbentuk juga badan-badan perjuangan yang sejak 15 Oktober 1945 menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur dan kemudian berganti nama menjadi Pesindo.

Sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia, Inggris memulai aksinya untuk memperlemah kekuatan Republik dengan cara memberikan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Hal ini dilakukan pula oleh Kelly terhadap pemuda Medan pada tanggal 18 Oktober1945. Sejak saat itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak Inggris. Demikian pula pasukan Sekutu mulai melakukan aksi-aksi terornya, sehingga timbul rasa permusuhan di kalangan pemuda. Patroli-patroli Inggris tidak pernah merasa aman, karena pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan jaminan keamanan. Meningkatnya korban di pihak Inggris menyebabkan mereka memperkuat kedudukannya dan menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaannya.

Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Tindakan pihak Inggris itu merupakan tantangan bagi para pemuda. Pihak Inggris bersama NICA melakukan aksi pembersihan terhadap unsur-unsur Republik yang berada di kota Medan. Para pemuda membalas aksi-aksi tersebut, setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan, bahkan seringkali terjadi tembak menembak. Pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Inggris dan NICA berusaha menghancurkan konsentrasi TKR di Trepes. Selanjutnya TKR menculik seorang perwira Inggris dan menghancurkan beberapa truk. Dengan peristiwa ini Jenderal Kelly kembali mengancam para pemuda agar menyerahkan senjata mereka. Barang siapa yang nyata-nyata melanggar akan ditembak mati. Daerah yang ditentukan adalah kota Medan dan Belawan. Perlawanan terus memuncak, pada bulan April 1946 tentara Inggis mulai berusaha mendesak pemeintah RI ke luar kota Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Dengan demikian Inggris berhasil menguasai kota Medan. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama “Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area” yang dibagi atas 4 sektor dan bermarkas di Sudi Mengerti (Trepes). Di bawah komando inilah mereka meneruskan perjuangan di Medan Area.

f. Bandung Lautan Api
Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut pangkalan udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW-sekarang Pindad) dan berlangsung terus sampai kedatangan pasukan Sekutu di Bandung pada 17 Oktober 1945. Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran. Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Namun, semangat juang rakyat dan para pemuda yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan perjuangan semakin berkobar. Pertempuran demi pertempuran terjadi.

Pada bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan yang dipimpin panglima TKR, Aruji Kartawinata. Dewan perjuangan ini terdiri atas wakil-wakil TKR dan berbagai kelaskaran. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum agar para pejuang menyerahkan senjata dan mengosongkan Bandung Utara. Ternyata ultimatum itu tidak diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi, para pemuda melakukan penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang berlindung di bawah Sekutu. Penculikan juga sering terjadi.

Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah. Dalam suasana yang demikian itu, Majelis Dewan Perjuangan tidak sabar menunggu reaksi dari pemerintah. Majelis yang terdiri dari berbagai kesatuan ini memutuskan untuk melancarkan perlawanan. Pada malam hari tanggal 24 - 25 November 1945 rakyat Bandung melancarkan serangan terhadap posisi-posisi Sekutu dan NICA.

Tanggal 23 Maret 1946, pihak Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. Isi ultimatum itu adalah agar TRI mengosongkan seluruh kota Bandung dan mundur ke luar kota dengan jarak 11 km. Untuk menghindari penderitaan rakyat dan kehancuran kota Bandung, maka Pemerintah RI menyetujui untuk melaksanakan pengosongan kota Bandung.

Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III Siliwangi menginstruksikan rakyat untuk mengungsi pada tanggal 24 Maret 1946. Malam harinya bangunan-bangunan penting mulai dibakar dan ditinggalkan mengungsi ke Bandung Selatan oleh sekitar 200.000 warganya. Kota Bandung yang terbakar ini juga disaksikan oleh istri Otto Iskandardinata yang masih menunggu kabar kepastian hilangnya sang suami. Warga mengungsi dengan membawa barang seadanya, sebagian mengatur perjalanan ke pengungsian, sebagian menyelamatkan dokumen-dokumen kota, sebagian membakar gedung-gedung penting, bahkan meledakkan bangunan-bangunan besar, hingga instalasi militer pun dihancurkan, salah satunya gudang mesiu yang diledakkan oleh Mohammad Toha yang gugur bersama ledakan. Tengah malam kota Bandung yang terbakar telah ditinggalkan. Menyisakan kenangan perjuangan Bandung Lautan Api.

Peristiwa tersebut dikenang hingga kini. Mars Halo Halo Bandung diciptakan. Kemudian monumen pun didirikan di lapangan Tegalega. Sineas pun tak luput menjadikan peristiwa tersebut dalam film “Toha Pahlawan Bandung Selatan”, sebuah film karya Usmar Ismail, juga film “Bandung Lautan Api” karya Alam Rengga Surawijaya. Tak ketinggalan penulis puisi W.S. Rendra juga mengabadikan dalam Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api.

g. Berita Proklamasi di Sulawesi
Berita proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, sampai pula di Sulawesi. Sam Ratulangi, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi, yang berkedudukan di Makasar mendapat tugas dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional Indonesia. Sementara itu, para pemuda Sulawesi memperbanyak teks proklamsi untuk disebarluaskan keseluruh pelosok penjuru. Atas inisiatif Manai Shopian dan kawan-kawan, dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor pewarta Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.

Saat itu tentara Sekutu dengan cepat dapat menguasai Indonesia bagian Timur, termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk menyampaikan berita proklamasi ke penjuru Sulawesi mendapat halangan dari tentara Sekutu. Para pemuda mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital. Pada tanggal 28 Oktober 1945, kelompok pemuda yang terdiri dari bekas Kaigun, Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya. Akibat peristiwa itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak dan melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng. Bahkan Sam Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan ke Serui, Papua.

Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka, Kendari. Mula-mula berita diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa oleh tentara Jepang. Saat itu yang bertugas memimpin Heiho adalah Idie Heiso dan Sudamitsu Heiso. Sementara berita proklamasi baru diketahui oleh rakyat Muna, saat Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang kemudian meninggalkan Muna menuju Kendari. Di Buton berita proklamasi diterima rakyat dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari orang-orang Jepang yang datang ke Makassar. Mula-mula berita itu diterima di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Di Sulawesi Tengah, berita proklamasi diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat. Berita itu diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara Heiho dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu mengatakan “Bangsa Indonesia sudah merdeka”.

Di Manado, berita proklamasi pertama kali diterima di markas besar tentara Jepang yang berkedudukan di Minahasa. Di Markas itu terdapat alat-alat sarana komunikasi yang mempekerjakan tenaga Indonesia diantaranya adalah A.S. Rombot. Saat itu, Rombot sedang mendapat tugas untuk menerima berita Domei dari Tokyo. Pada saat itulah berita tentang proklamasi yang disebarkan di seluruh penjuru dunia itu diketahuinya, tepatnya pada 18 Agustus 1945. Berita itu diterimanya bersamaan dengan berita kapitulasi Jepang dan perintah genjatan senjata. Segera setelah bertugas Rombot mengontak W.F. Sumati yang saat itu sebagai daidancho boo ei Teisintai di Tondano. Kedua tokoh itu kemudian menyampaikan berita proklamasi itu ke tokoh-tokoh nasionalis. Berita itu kemudian disebarkan ke Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, dan Gorontalo.

Setelah berita proklamasi kemerdekaan tersebar keseluruh penjuru Sulawesi, sejak itu pula bendera merah putih mulai berkibar menjadi lambang Indonesia merdeka. Cita-cita yang sudah lama diinginkan oleh rakyat pun terwujud. Di Sulawesi Tenggara misalnya, bendera merah putih dikibarkan pada 17 September 1945 dengan dipimpin oleh D. Andi Kasim. Di Lasusua bendera merah putih dikibarkan pada 5 Oktober 1945 yang dihadiri oleh kepala distrik Patampanua dan beberapa pimpinan pemuda RI dari Luwu.

Sementara itu, pada 14 Februari 1946, B.W. Lapian sebagai pemimpin sipil pada saat itu memimpin pasukan pemuda bersama Letkol. Ch. Taulu dan Serda S.D. Wuisan merobek bagian biru pada bendera Belanda di tangsi militer Belanda, di Teling, Menado. Peristiwa heroik itu menandai berkibarnya bendera merah putih.

h. Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan dan pertempuran laut pertama sejak berdirinya negara Republik Indonesia. peristiwa itu dimulai dengan kedatangan Belanda dengan membonceng Sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal 3 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan Bali sebagai batu loncatan untuk menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan penghubung ke arah Australia.

Dengan perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari Indonesia melawan Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda. Berkaitan dengan hal tersebut, maka para pemimpin perjuangan yang sudah sampai di Jawa berusaha mencari bantuan dan membentuk kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Markadi atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk. Pasukan itu kemudian lebih dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Markadi sebelumnya bertugas mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, karena makin lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali.

Kondisi itu mendorong Letjen. Urip Sumoharjo di Markas Besar TRI Yogyakarta untuk memutuskan memperkuat TRI Sunda Kecil dengan bantuan senjata dan amunisi kepada I Gusti Ngurah Rai. Untuk itulah Pasukan M berperan penopang Pasukan Sunda Kecil di bawah Pimpinan Ngurah Rai. Pasukan ini juga dilengkapi pasukan sandi yang disebut CIS (Combat Intelligent Section) yang terdiri dari para pelajar. Disiapkanlah tiga pasukan untuk memblokade pasukan Belanda. Pasukan angkatan laut dipimpin oleh Kapten Makardi dan Waroka. Angkatan Darat di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Operasi itu direncanakan melalui tiga titik pendaratan. Pasukan Waroka mendarat di Pantai Gerokgak dan Celuk Bawang. Pasukan Markadi mendarat di antara Cupel dan Candi Kusuma, Jembrana dan Pasukan I Gusti Gurah Rai mendarat di Pantai Yeh Kuning. Operasi rahasia itu ditujukan untuk mendapatkan informasi intelijen yang akurat.

Pasukan diberangkatkan dari Muncar Banyuwangi dengan sasaran daerah Kuning dan terus ke Munduk Malang. Penyeberangan dilaksanakan malam hari. Rombongan ini dalam penyeberangannya di tengah laut dipergoki oleh patroli Belanda dan langsung menembaki ke arah rombongan pasukan Ngurah Rai. Akibatnya Cokorde Rai Gambir dan Cokorde Dharma Putra gugur. Sebagian berhasil mendarat di Yeh Kuning dan sebagian lagi di bawah Ngurah Rai kembali ke Muncar. Keesokan harinya tanggal 4 April 1946, rombongan Ngurah Rai berhasil mendarat di Pulukan untuk seterusnya menuju Munduk Malang.

Gelombang ketiga, Pasukan M sebagai induk pasukan berangkat pada tanggal 4 April 1946 malam hari. Mereka berangkat dari pelabuhan Banyuwangi dengan berkekuatan empat peleton. Sasarannya akan mendarat di daerah Candikusuma. Saat fajar menyingsing, rombongan Pasukan M dipergoki oleh dua motorboat Belanda yang sedang berpatroli. Terjadilah pertempuran antara Pasukan M melawan patroli Belanda. Dengan taktik menempel pada motorboat Belanda, Pasukan M sulit untuk ditembaki Belanda. Sebaliknya, Pasukan M dapat melemparkan granat-granat tangan ke dek motorboat. Akhirnya, satu motorboat Belanda terbakar dan tenggelam serta yang satunya melarikan diri. Setelah berhasil menghancurkan patroli Belanda, Pasukan memerintahkan untuk putar haluan kembali ke Banyuwangi, sebab arus laut yang kuat dan kapal Markadi sendiri berlobang-lobang. Dalam perang ini, pihak Pasukan M gugur dua orang, yakni Sumeh Darsono dan Sidik.

Keesokan harinya, Pasukan M kembali berlayar menuju Bali dan mereka berhasil melakukan pendaratan di Klatakan, Melaya, dan Candikusuma. Sesampainya di Bali dilakukan koordinasi dan dibentuk MGGSK (Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil). Kemudian pada bulan Juli 1946, juga terjadi pendaratan pasukan tempur yang dipimpin oleh Kapten Saestuhadi. Setelah itu terjadilah pertempuran di berbagai daerah.

Mula pertama pasukan MGGSK dihadang oleh pasukan Belanda di Klatakan. Terjadilah pertempuran sengit. Pasukan MGGSK terdesak dan pemimpin yang gugur, antara lain Kapten Saestuhadi, Kapten Suryadi, dan Letnan Nurhadi.

Selanjutnya, Pasukan M melakukan penyerangan ke berbagai daerah, antara lain, di Gilimanuk Cekik, Penginuman, Candikusuma, Cupek, Negara, Sarikuning, Pulukan, Gunungsari, Klatakan, Munduk Malang, Tabanan, dan Celukan Bawang.

Untuk mengenang perjuangan pasukan kita yang gugur dalam operasi lintas laut, maka di daerah Cekik, Gilimanuk didirikan monumen yang dinamakan Monumen Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali.