Dalam setiap terjadinya kerusuhan selalu berdampak pada tindakan pelanggaran HAM. Mengapa seperti itu? Pelanggaran HAM bisa terjadi karena ada faktornya pemicunya, salah satunya adalah kejadian kerusuhan yang terkadang menimbulkan munculnya pelanggaran HAM. Ada banyak contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang diawali oleh kerusuhan. Beberapa kasus pernah terjadi di Indonesia yang berujung pada tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dua yang terbesar adalah kerusuhan Tanjung Priok dan Mei 1998. Ribuan korban berjatuhan bahkan banyak di antaranya yang meninggal dunia. Dua kasus inilah yang sangat menyita perhatian masyarakat hingga sekarang, bukan hanya di Indonesia tetapi juga masyarakat Internasional. Masyarakat terus menuntut pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut dan pelakunya segera diadili. Berikut ini uraian singkat kedua kasus tersebut:
Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh pemaksaan asas tunggal Pancasila yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Semua organisasi kemasyarakatan pada saat itu diwajibkan menggunakan Pancasila sebagai asas organisasinya. Kerusuhan itu sendiri pecah karena perampasan brosur yang berisi kritikan terhadap pemerintah di salah satu mesjid di daerah Tanjung Priok. Akibatnya, masyarakat melawan tindakan perampasan tersebut dengan menyerang aparat.
Pada tahun 1985, sejumlah orang dari kalangan masyarakat yang tergabung dalam defile tersebut dijebloskan ke penjara dengan tuduhan subversif. Baru kemudian, pada tahun 2004 dilakukan pengadilan militer terhadap aparat keamanan yang dianggap bertanggung jawab terhadap jatuhnya beberapa korban.
Sedangkan, kasus kerusuhan Tanjung Priok II terjadi pada tanggal 14 April 2010. Pemicunya adalah adanya rencana eksekusi lahan yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap kawasan makam Mbah Priok. Rencana eksekusi tersebut diawali oleh sengketa lahan antara Pelabuhan Indonesia II dengan ahli waris Mbah Priok. Pada tanggal 5 Juni 2002, PN Jakarta mengeluarkan putusan pengadilan yang memenangkan PT Pelindo II sebagai pemilik sah lahan seluas 5,4 Ha tersebut.
Eksekusi lahan pun akhirnya dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta tetapi mendapat penentangan dari warga setempat yang berakibat pada pecahnya bentrokan antara aparat dan warga. Akibat dari bentrokan ini, terjadi tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat terhadap massa. Sejumlah korban berjatuhan, baik itu dari sisi aparat maupun masyarakat. Kerugian pun diperkirakan ratusan milyar rupiah.
Pelanggaran HAM Kerusuhan Tanjung Priok
Kerusuhan Tanjung Priok pernah dua kali terjadi, yaitu pada tahun 1984 dan 2010. Kerusuhan Tanjung Priok I adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 12 September 1984 di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Indonesia. Kerusuhan ini telah merenggut nyawa sejumlah korban dan banyak juga di antaranya yang menderita luka-luka. Gedung-gedung dirusak oleh massa yang melakukan defile yang berujung bentrok dengan aparat keamanan. Aparat yang berjaga saat mengambil tindakan represif untuk menghalau massa, mereka ditembaki dengan peluru tajam. Sedikitnya, 24 nyawa melayang akibat dari tindakan aparat tersebut, selain itu terdapat juga 9 orang korban jiwa karena terbakar. Tindakan ini jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM)Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh pemaksaan asas tunggal Pancasila yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Semua organisasi kemasyarakatan pada saat itu diwajibkan menggunakan Pancasila sebagai asas organisasinya. Kerusuhan itu sendiri pecah karena perampasan brosur yang berisi kritikan terhadap pemerintah di salah satu mesjid di daerah Tanjung Priok. Akibatnya, masyarakat melawan tindakan perampasan tersebut dengan menyerang aparat.
Pada tahun 1985, sejumlah orang dari kalangan masyarakat yang tergabung dalam defile tersebut dijebloskan ke penjara dengan tuduhan subversif. Baru kemudian, pada tahun 2004 dilakukan pengadilan militer terhadap aparat keamanan yang dianggap bertanggung jawab terhadap jatuhnya beberapa korban.
Sedangkan, kasus kerusuhan Tanjung Priok II terjadi pada tanggal 14 April 2010. Pemicunya adalah adanya rencana eksekusi lahan yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap kawasan makam Mbah Priok. Rencana eksekusi tersebut diawali oleh sengketa lahan antara Pelabuhan Indonesia II dengan ahli waris Mbah Priok. Pada tanggal 5 Juni 2002, PN Jakarta mengeluarkan putusan pengadilan yang memenangkan PT Pelindo II sebagai pemilik sah lahan seluas 5,4 Ha tersebut.
Eksekusi lahan pun akhirnya dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta tetapi mendapat penentangan dari warga setempat yang berakibat pada pecahnya bentrokan antara aparat dan warga. Akibat dari bentrokan ini, terjadi tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat terhadap massa. Sejumlah korban berjatuhan, baik itu dari sisi aparat maupun masyarakat. Kerugian pun diperkirakan ratusan milyar rupiah.
Pelanggaran HAM Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 terjadi pada tanggal 4-8 dan 12-15 Mei tahun 1998 di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Ibu Kota Jakarta. Peristiwa tersebut merupakan buntut dari tragedi Trisakti yang merenggut nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti pada saat melakukan demonstrasi menumbangkan rezim Soeharto. Presiden Soeharto saat itu dianggap sebagai penyebab krisis moneter di Indonesia yang sangat mencekik perekonomian masyarakat akibat dari maraknya tindakan KKN yang dilakukan oleh para kroninya.
Etnis Tionghoa menjadi korban dari kerusuhan ini. Ratusan perusahaan dan toko milik mereka dihancurkan oleh massa. Meskipun terjadi dibeberapa daerah, namun kerusuhan terbesar terkonsentrasi di Surakarta, Medan, dan Jakarta. Ribuan masyarakat tionghoa menjadi korban pelanggaran HAM dalam kerusuhan tersebut, terutama anak-anak dan wanita yang sebagian besar mengalami tindak pelecehan. Banyak dari mereka yang harus keluar dari Indonesia untuk menyelamatkan diri.
Kerusuhan ini satu di antara banyak kasus yang dibiarkan berlarut-larut di Indonesia. Bertahun-tahun sejak kejadian, pemerintah belum juga mengambil tindakan apapun terhadap orang-orang yang dianggap menjadi dalang dari peristiwa ini. Pemerintah beralasan bahwa tidak dapat ditemukan bukti-bukti konkret atas semua kasus kekerasan yang terjadi. Pernyataan tersebut sontak mendapat bantahan dari banyak pihak.
Baca Juga:
Kontroversi dan ketidakjelasan meliputi penyelesaian kasus Mei 1998 hingga kini. Semuanya sepakat bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran sejarah hitam dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sementara itu, etnis tionghoa yang menjadi korban pelanggaran HAM dalam kerusuhan tersebut menuduh pemerintah sebagai dalang dari semua peristiwa yang terjadi. Soeharto memang telah tumbang, namun masyarakat terus menagih janji penuntasan kasus tersebut hingga ke pemerintahan sekarang.
Lantas, mengapa dalam setiap kerusuhan tersebut selalu berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM? Pada dasarnya, kerusuhan adalah peristiwa yang tentu saja tidak diinginkan oleh semua orang. Akibat yang ditimbulkan amat sangat merugikan. Bukan hanya kerugian harta benda, tetapi banyak nyawa yang melayang sia-sia akibat kerusuhan yang terjadi. Dalam kerusuhan tersebut biasanya muncul berbagai tindakan yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, seperti perusakan, pencurian, dan penganiayaan.
Massa yang terlibat, baik itu aparat dan masyarakat sangat gampang terprovoksi ketika kerusuhan berlangsung. Hal tersebut mengakibatkan semua tindakan menjadi tidak terkontrol. Dengan dalih untuk meredam kerusuhan, tindakan represif pun diambil sebagai cara tercepat untuk mengakhiri kerusuhan. Itulah sebabnya mengapa sehingga pada setiap kerusuhan sangat rawan terjadi tindakan pelanggaran HAM.
Nah, demikian uraian ini semoga dapat menjawab pertanyaan tentang Mengapa dalam Setiap Terjadinya Kerusuhan Selalu Berdampak pada Pelanggaran HAM, terima kasih.
Kerusuhan ini satu di antara banyak kasus yang dibiarkan berlarut-larut di Indonesia. Bertahun-tahun sejak kejadian, pemerintah belum juga mengambil tindakan apapun terhadap orang-orang yang dianggap menjadi dalang dari peristiwa ini. Pemerintah beralasan bahwa tidak dapat ditemukan bukti-bukti konkret atas semua kasus kekerasan yang terjadi. Pernyataan tersebut sontak mendapat bantahan dari banyak pihak.
Baca Juga:
- Mengapa Penegakan HAM itu Penting Dilakukan di Indonesia? Ini Jawabannya!
- 15 Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Pelanggaran HAM
Kontroversi dan ketidakjelasan meliputi penyelesaian kasus Mei 1998 hingga kini. Semuanya sepakat bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran sejarah hitam dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sementara itu, etnis tionghoa yang menjadi korban pelanggaran HAM dalam kerusuhan tersebut menuduh pemerintah sebagai dalang dari semua peristiwa yang terjadi. Soeharto memang telah tumbang, namun masyarakat terus menagih janji penuntasan kasus tersebut hingga ke pemerintahan sekarang.
Hubungan Kerusuhan dan Pelanggaran HAM
Lantas, mengapa dalam setiap kerusuhan tersebut selalu berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM? Pada dasarnya, kerusuhan adalah peristiwa yang tentu saja tidak diinginkan oleh semua orang. Akibat yang ditimbulkan amat sangat merugikan. Bukan hanya kerugian harta benda, tetapi banyak nyawa yang melayang sia-sia akibat kerusuhan yang terjadi. Dalam kerusuhan tersebut biasanya muncul berbagai tindakan yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, seperti perusakan, pencurian, dan penganiayaan.
Massa yang terlibat, baik itu aparat dan masyarakat sangat gampang terprovoksi ketika kerusuhan berlangsung. Hal tersebut mengakibatkan semua tindakan menjadi tidak terkontrol. Dengan dalih untuk meredam kerusuhan, tindakan represif pun diambil sebagai cara tercepat untuk mengakhiri kerusuhan. Itulah sebabnya mengapa sehingga pada setiap kerusuhan sangat rawan terjadi tindakan pelanggaran HAM.
Nah, demikian uraian ini semoga dapat menjawab pertanyaan tentang Mengapa dalam Setiap Terjadinya Kerusuhan Selalu Berdampak pada Pelanggaran HAM, terima kasih.